Berbekal baju selam karet hitam, goggle (kacamata) selam, keranjang di
bahu dan sebuah sekop mini di pergelangan tangan, mereka menyelam ke
dasar laut. Tanpa alat bantu pernapasan kecuali kemampuan paru-paru
yang bisa bertahan selama dua menit lebih. Perempuan-perempuan itu
"bertarung" dengan waktu untuk menjemput abalone di kedalaman belasan
meter.
Merekalah perempuan-perempuan perkasa yang legendaris dari Pulau Cheju,
Korea Selatan. Penyelam-penyelam alam yang andal. Secara turun-temurun,
perempuan-perempuan Pulau Cheju dan Udo, ditempa kerasnya alam menjadi
penyelam paling terampil di dunia.
Rekor Selam!
Selama empat jam dalam satu hari, mereka menyelami dasar laut
berkarang. Antara ke dalaman 12-20 meter, mereka bergerak sigap mencari
aneka hasil laut bernilai mahal. Rata-rata selama 2 menit mereka
menahan napas di kedalaman untuk mengumpulkan satu jenis hasil laut
saja. Begitu pun ada juga yang mampu bertahan sampai 3 menit 38 detik,
sebuah rekor dunia!
Perempuan-perempuan laut ini memang unik. Dalam penyelaman, mereka
bergerak dalam kelompok-kelompok 3-4 orang di satu titik lokasi.
Gerakan tiap kelompok seirama, seindah tarian pertunjukan senam air
beregu pada olimpiade. Seandainya mereka dilatih dan diikutsertakan
dalam kejuaraan selam dunia, mereka pasti bisa mencatat prestasi selam
yang luar biasa!
Berburu Abalone
Umumnya mereka "memanen" aneka jenis biota laut seperti landak laut,
timun laut, ubur-ubur spesial dan gurita. Namun dari seluruh jenis yang
dikumpulkan dalam keranjang yang terikat di bahu mereka, abalone adalah
yang paling bernilai. Sejenis siput laut bercangkang keras ini
merupakan seafood yang bernilai sangat mahal.
Adalah suatu keberuntungan jika mereka bisa membawa beberapa ekor
abalone dalam satu hari penyelaman. Karena abalone adalah makanan laut
langka yang sangat bernilai, melebihi lobster bahkan kaviar!
Untuk mendapatkan abalone, mereka rela mengambil risiko yang paling
berbahaya. Bukan main-main, abalone termasuk hewan laut berbahaya.
Salah pegang, kedua cangkangnya bisa menutup dengan cepat dan menjepit
tangan. Jika terjepit cangkang abalone, alamat cacat seumur hidup atau
kematian. Tercatat, rata-rata satu perempuan laut Pulau Cheju tewas
terjepit abalone. Sebuah harga yang dibayar teramat mahal.
Kaya dan Terhormat
Walau terlihat seperti pekerja kasar, jangan pandang remeh
perempuan-perempuan laut ini. Di Korea Selatan, penyelam-penyelam
perempuan ini adalah orang-orang yang terkaya dan terhormat.
Mereka melakukan penyelaman hanya pada waktu-waktu atau musim tertentu
saja. Jika tidak sedang menyelam, mereka akan mengurus bisnis atau
beristirahat di villa atau rumah mewah mereka. Rata-rata perempuan laut
Cheju memang bermukim di tepi laut. Namun mereka juga memiliki rumah
mewah di kota, bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai tamat perguruan
tinggi.
Bahkan tak jarang yang memiliki usaha restoran atau penginapan di daerah wisata Pulau Cheju.
Mengapa mereka menyelam? Ini adalah sebuah tradisi. Di masa lalu, Korea
menganut sebuah tradisi kuno yang sangat mengagungkan derajat lelaki.
Begitu terhormatnya posisi kaum lelaki, sehingga penguasa Korea di masa
lalu menetapkan pajak yang tinggi pada kaum lelaki yang bekerja. Namun
karena pajak yang tinggi itu, walaupun penghasilan (gaji/upah) tinggi,
hasil yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga menjadi minim.
Sementara perempuan dipandang lebih rendah derajatnya, sehingga pajak
untuk wanita bekerja juga dipatok rendah. Akibatnya, walau gaji rendah,
perempuan ternyata bisa menghasilkan uang yang lebih banyak daripada
lelaki.
Menyiasati hal ini, perempuan-perempuan di Pulau Cheju dan sekitarnya
mengambil peluang. Mereka menggantikan posisi suaminya dan bekerja
untuk mencari nafkah keluarga. Hidup di tepi laut berarti menggali
hasil laut. Maka, perempuan-perempuan ini pun mulai menyelam ke dasar
laut sebagai pencari uang tambahan bagi lelaki yang hidup sebagai
nelayan. Ternyata hasil yang diperoleh perempuan tersebut jauh melebihi
hasil kaum lelaki.
Sejak itu, perempuan-perempuan Pulau Cheju pun alih profesi menjadi
penyelam sebagai tulang punggung ekonomi keluarga. Sementara lelaki
memilih untuk mengambil alih pekerjaan wanita mengurus rumah tangga,
mulai dari memasak, mencuci dan mengurus anak. Dari sini lah tradisi
menyelam bagi perempuan-perempuan Cheju menggeser nilai lama.
Sejak abad ke-19, kebiasaan perempuan-perempuan laut ini pun diwariskan
dari generasi ke generasi. Dan kini, perempuan-perempuan Cheju pun
mendapat tempat terhormat sebagai "kepala keluarga". (berbagai sumber)*
Antara Tradisi dan Ekonomi
Perempuan-perempuan laut kini
menjadi ikon wisata Pulau Cheju dan sekitarnya. Dikenal dengan sebutan
"Haenyo". Aktivitas selam mereka terkadang menjadi atraksi menarik bagi
sejumlah turis di wilayah tersebut.
Melakoni nafkah sebagai penyelam hasil laut, mereka tidak menggunakan
alat selam standar, kecuali baju karet, goggle selam dan sebuah sekop
mini dan keranjang. Ini sesuai dengan peraturan ketat pemerintah Korea
Selatan.
Penggunaan alat selam modern tidak diperkenankan untuk mencari nafkah hasil laut, dan
penggunaan alat selam modern hanya diizinkan untuk olahraga dan wisata
saja. Seandainya tetap ingin menyelam untuk nafkah, maka yang diizinkan
hanya membawa sebuah keranjang, sebuah sekop kecil dan kacamata selam.
Itu pun dengan izin pula! Karena itulah, perempuan-perempuan laut ini
sama sekali tidak menggunakan alat bantu pernapasan sama sekali dalam
menyelam.
Begitu pun, tradisi selam menyelam ini agaknya hanya dilakoni oleh
perempuan-perempuan lanjut usia. Berdasarkan data tahun 2003, tercatat
5.650 perempuan penyelam di Cheju. Dari angka itu, 85 persen di
antaranya berusia di atas 50 tahun dan hanya 2 orang yang di bawah usia
30 tahun!
"Setiap kali saya menyelam," Yang Jung Sun, perempuan laut usia 75.
"Saya merasa pergi ke sisi lain dunia. Jika melihat sesuatu yang bisa
dijual di bawah sana, saya akan memaksakan diri mengambilnya."
Yang Jung Sun yang sudah puluhan tahun menyelam mengaku tetap saja
dibayangi kematian dalam setiap kali penyelaman. "Ketika selesai
menyelam dalam dua menit lebih, paru-paru saya serasa akan meledak.
Pandangan terlihat gelap, dan saya merasa akan mati. Itu terjadi setiap
saat saya menyelam."
Menurutnya, walaupun ia sudah berkali-kali merasa seperti itu dan
mengingatkan dirinya untuk tidak menyelam lagi, tetapi Yang Jung Sun
tetap saja kembali menyelam dan menyelam. "Aku selalu kembali
menyelam!" katanya dengan senyum.
Sejak era 70-an, tangkapan segar dari perempuan-perempuan laut ini
mendapat pasar tetap terutama bagi ekspor ke Jepang. Harga makanan laut
itu pun semakin melejit naik. Uang pun mengalir ke kantong
perempuan-perempuan perkasa Cheju. Memungkinkan mereka untuk
meningkatkan taraf hidup, membangun rumah baru, menyekolahkan anak-anak
mereka, bahkan menabung untuk masa depan.
Peningkatan taraf hidup juga terjadi pada Yang Hoa Shu, 67 tahun.
Penyelam perempuan yang andal ini mengaku sejak usia delapan tahun
sudah mulai menyelam. Ia memiliki penghasilan mencapai 30 ribu dolar AS
(setara 270 juta rupiah lebih) setahun.
Ia menetapkan hanya 10 hari sebulan untuk menyelam dan selebihnya
mengurus bisnis lain. Seperti sebagian perempuan laut lainnya, Yang Hoa
Shu memang memiliki restoran dan penginapan bagi turis di resor wisata
Pulau Cheju.
Kesuksesan yang diraihnya selama satu atau dua dekade ini, membuka
peluang bagi anaknya untuk meneruskan usaha wisata keluarga, atau
melanjutkan karier di kota besar. Hal ini mungkin akan menggeser
tradisi selam bagi perempuan laut Cheju di masa yang akan datang.
Karena tingkat ekonomi mereka semakin memadai dari hari ke hari, bukan
tidak mungkin suatu saat nanti pekerjaan menyelam itu akan ditinggalkan
dan terlupakan oleh keturunan mereka kelak. (berbagai sumber)*
Cheju Do, Keindahan di Selatan Korea
Cheju Do (Pulau Cheju) adalah sebuah pulau vulkanik di ujung selatan
Korea Selatan. Pulau ini terbentuk akibat letusan gunung berapi
kira-kira 2 juta tahun lalu. Jejak lava dan aktivitas gunung api di
masa lampau membentuknya menjadi pulau berkarang dengan panorama yang
mampu membius mata.
Pulau Cheju adalah sebuah tempat yang sarat mitologi dan legenda. Di
sekeliling pulau bersuhu sub-tropis dengan empat musim itu, terdapat
patung batu yang menjadi simbol kekuatan kuno tertentu (mungkin semacam
dewa kesuburan). Cheju juga dipenuhi banyak gua yang berkaitan dengan
kisah Dewa Ko, Pu dan Yang dalam mitologi Korea.
Pulau itu memiliki keindahan alam yang sangat memukau. Di tengahnya
terdapat sebuah gunung tertinggi di Korea, yakni Mount Halla (1.950
meter di atas permukaan laut). Dari puncaknya kita bisa menatap seluruh
pulau yang hanya seluas 1.845 km persegi itu.
Di sekitar lereng Gunung Halla, ditumbuhi berbagai flora khas wilayah
sub-tropis, yang memungkinkan kekayaan botani sampai 1.800 spesies yang
tetap terlihat di musim semi, gugur, dingin dan panas.
Di kaki gunung ini aura kehidupan peternakan terlihat kental. Dengan
padan grumput penggembalaan ternak yang terhampar mencapai batas
perairan. Lalu keindahan matahari terbenam yang menyiram pantai dan
memberi warna eksotis pada patung-patung batu dan panorama alam.
Di lepas pantai, bisa disaksikan kegiatan perempuan-perempuan laut
yang mencari nafkah. Dalam "tarian selam" mereka yang memukau. Sebuah
tradisi turun temurun bagi kaum perempuan Cheju.
Beda dengan pulau-pulau lain, di Cheju yang hanya tiga kali lebih besar
dari Singapura ini, semua penduduk makmur. Dihuni sekitar 520 ribu
penduduk, di sini tidak ada pengemis dan kejahatan. Semua terlihat
aman, damai dan syahdu. Penduduknya ramah dan sajian masakan lautnya
menggelitik selera.
Pantai berkarang menjadi satu daya tarik yang lain. Wisata memang
menjadi penghasilan utama pulau ini. Dan saat terbaik untuk mengunjungi
Cheju adalah di saat musim semi (Maret-Mei) dan musim gugur
(September-November), manakala keragaman floranya sangatlah memukau.
Jangan lewatkan mengunjungi Dragon Head Rock (Yongduam) yang terkenal,
menakap puncak Gunung Halla dan Sanbang serta menilik Natural History
Folk Museum… di samping menyaksikan ikon wisata Cheju, yaitu
perempuan-perempuan laut!

Tidak ada komentar:
Posting Komentar